Pemilik Emas Dibuat Jantungan, Harga Emas Jatuh 1% Lebih

Jakarta, CNBC Indonesia – Harga emas hancur setelah dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil surat utang pemerintah AS melambung. 

Pada perdagangan Selasa (1/8/2023) harga emas di pasar spot ditutup di posisi US$ 1.944,08 per troy ons. Harganya ambruk 1,02%. Pelemahan tersebut mengakhiri tren penguatan pada dua hari perdagangan sebelumnya.

Harga emas sudah mulai membaik pada pagi hari ini. Pada perdagangan Rabu (2/8/2023) pukul 06:20 WIB, harga emas ada di posisi US$ 1.950,62 per troy ons atau menguat 0,34%.

Harga emas ambruk setelah dolar Amerika Serikat (AS) dan yield atau imbal hasil surat utang pemerintah AS terbang.
Indeks dolar ditutup pada posisi 102,303, jauh di atas hari sebelumnya yang ada di titik 101,86. Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun melesat ke 4,05% kemarin, dari 3,96%.

Dua faktor ini membuat emas merana. Penguatan dolar membuat emas semakin teak terjangkau untuk dibeli sehingga tidak menarik.
Sang logam mulia tidak menawarkan imbal hasil sehingga naiknya imbal hasil surat utang pemerintah AS membuat emas tidak menarik.

“Emas melemah karena dolar menguat tajam. Harga emas juga turun karena ada aksi profit taking sebelum pengumuman data tenaga kerja,” tutur analis OANDA, Edward Moya, dikutip dari Reuters.

Seperti diketahui, AS mengumumkan data pembukaan lapangan kerja JOLTS kemarin. Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan jumlah lapangan kerja baru pada periode Juni 2023 turun menjadi 9,58 juta lapangan, dari sebelumnya pada Mei lalu sebanyak 9,62 juta lapangan kerja.
Kendati melemah, pelaku pasar melihat data tenaga kerja masih cukup panas dan tidak turun secepat harapan.

Dengan sulitnya tenaga kerja AS untuk turun tajam maka harapan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) melunak akan semakin sulit.

Moya menjelaskan masih ada peluang emas untuk menguat dan bahkan tembus US$ 2.000 epr troy ons tetapi dengan syarat inflasi turun tajam.

Namun, analis dari KCM Trade, Tim Waterer, melihat sebaliknya. Penurunan inflasi akan terjadi tetapi tidak cukup membuat bank sentral global, termasuk The Fed untuk melunak.

“Inflasi jelas akan turun tetapi pertanyaannya secepat apa. Apakah akan terjadi disinflasi dan membuat bank sentral dunia melunak? Itulah mengapa bank sentral lebih memilih melihat perkembangan data terbaru dibanding hanya melihat indlasi,” tutur Waterer, dikutip dari Reuters