Harga Emas Jeblok Lagi, Yakin Masih Bisa Tembus US$ 2.000?

Jakarta, CNBC Indonesia– Harga emas terus menyusut. Harga emas di pasar spot pada perdagangan Selasa (24/10/2023), ditutup di posisi US$ 1.970,11 per troy ons. Harganya melandai 0,13%.

Pelemahan ini memperpanjang tren negatif emas yang juga anjlok 0,43% pada perdagangan Senin. Padahal, sang logam mulia terbang dalam empat hari sebelumnya dengan penguatan mencapai 3,2%. Emas sedikit menguat pada hari ini. Pada perdagangan Rabu (25/10/2023) pukul 06:25 WIB, harga emas menguat 0,03%.

Harga emas ambruk kemarin setelah dolar Amerika Serikat (AS) terbang dan imbal hasil US Treasury naik.

Imbal hasil US Treasury 10 tahun melesat ke 4,84%. Imbal hasil sedikit lebih tinggi dari sebelumnya yang ada di posisi 4,934% dan masih berada di level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.
Indeks dolar juga masih melaju kencang ke 106,27. Posisi tersebut lebih tinggi dibandingkan pada penutupan hari sebelumnya yakni 105,54.
Kenaikan dolar AS membuat emas semakin mahal dibeli sehingga semakin tidak terjangkau untuk dibeli buat investasi. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan imbal hasil US Treasury membuat emas kurang menarik.

Analis dari Kitco Metals, Jim Wyckoff, menjelaskan pelemahan emas masih dipicu aksi profit taking.
“Level US$ 2.000 masih terbuka bagi emas dalam jangka pendek. Emas bahkan masih berpeluang untuk rekor jika eskalasi di Timur Tengah meningkat,” ujar Wyckoff, dikutip dari Reuters.

Harga emas sudah meroket 9% dalam dua pekan terakhir dan bahkan sempat menembus rekor tertinggi dalam lima bulan pada pekan lalu. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah membuat sang logam mulia terbang. Chris Mancini, analis dari Gabelli Gold Fund, mengungkapkan pergerakan emas kembali akan dipengaruhi suku bunga.

Namun, hal itu tidak selamanya buruk. Jika suku bunga naik dan ekonomi AS terganggu maka ada potensi resesi yang justru menguntungkan emas.

“Jika ekonomi AS melemah maka ada potensi resesi sehingga suku bunga bisa dipangkas dan harga emas naik,” tutur Mancini, kepada Reuters.

Pasar menunggu hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 31 Oktober-1 November waktu AS atau 1-2 November waktu Indonesia. Ekspektasi pasar kini mengarah pada keputusan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang akan menahan suku bunga.

Perangkat FedWatch Tool menunjukkan 6,8% pelaku pasar memperkirakan suku bunga akan ditahan di level 5,25-5,50% pada November mendatang. Artinya, hampir 100% pasar memperkirakan suku bunga akan tetap.